Thursday, February 21, 2008

Pakai Ponsel Berlebihan Picu Kanker Kelenjar Ludah

TEL AVIV -- Sering berbicara di telepon genggam (telepon seluler atau ponsel), bisa membuat mulut seseorang lelah. Namun pengguna telepon genggam yang terlalu berlebihan harus waspada. Bukan karena soal kelelahan mulut. Yang harus diwaspadai adalah radiasi akibat penggunaan ponsel yang berpotensi menyebabkan kanker kelenjar ludah.

Para peneliti di Israel telah melakukan riset dampak buruk penggunaan telepon genggam yang terlalu berlebihan tersebut. Penelitian ini melibatkan sekitar 500 orang Israel yang mengidap kanker. Dalam penelitian ini, data penggunaan telepon genggam para responden dianalisis dan dibandingkan dengan 1.300 pemeriksaan kesehatan. Riset mengenai pengaruh telepon genggam ini kemudian dipublikasikan dalam The American Journal of Epidemiology.

Dari hasil analisis, responden yang biasa memakai telepon dengan menempelkannya di satu sisi kepala selama beberapa jam tercatat 50 persen lebih berisiko mengidap kanker kelenjar ludah. Sebelumnya, penelitian tentang pengaruh telepon genggam memang sudah banyak dilakukan dan kebanyakan selalu memusatkannya pada risiko mengidap penyakit tumor. Beberapa kali, di antara riset tersebut tidak menemukan hubungan signifikan antara radiasi telepon genggam dengan risiko mengidap kanker.

Kanker kelenjar ludah adalah jenis penyakit dengan prevalensi sangat rendah. Inggris misalnya, dari 230 ribu kasus kanker yang ditemukan setiap tahunnya, hanya 550 kasus saja yang berhubungan dengan jenis kanker kelenjar ludah. ''Penggunaan telepon genggam di Israel tercatat lebih tinggi dibanding negara lain di dunia. Fenomena ini memberikan keuntungan bagi riset karena peneliti dapat memantau pengaruhnya untuk jangka panjang atau pun dampak kumulatif yang akan terjadi,'' ujar Dr Siegal Sadetzki yang memimpin riset ini, seperti dilansir BBC, Senin (18/2).

Salah satu temuan kunci dari penelitian ini, kata Sadetzki, adalah penggunaan telepon genggam yang tinggi di wilayah pinggiran atau pedesaan yang berdampak risiko lebih tinggi dibanding di wilayah kota. ''Ada fakta bahwa penggunaan telepon genggam di area dengan sinyal lemah butuh pancaran radiasi yang lebih kuat supaya telepon dapat berfungsi,'' jelasnya.

Namun demikian, Sadetzki menegaskan, satu penelitian saja tidak cukup untuk membuktikan suatu hubungan sehingga penelitian lanjutan perlu dilakukan. Hingga bukti-bukti baru ditemukan, lanjut dia, pendekatan yang bersifat pencegahan tetap merupakan yang terbaik khususnya dikaitkan dengan penggunaan telepon genggam pada anak-anak.

Di sisi lain, meskipun temuan baru dari Israel tersebut menunjukkan adanya dampak buruk yang signifikan. Sebuah penelitian terbesar dan terpanjang tentang telepon genggam lainnya justru tak menemukan adanya peningkatan risiko jenis kanker apapun. Penelitian itu melibatkan 420 ribu orang di Denmark, yang telah menggunakan telepon genggam selama 10 tahun. Dari riset di Denmark itu terungkap fakta bahwa kasus kanker ternyata lebih rendah dari yang diperkirakan. eye

http://republika.co.id/koran_detail.asp?id=324243&kat_id=13

40 Persen Makanan Bayi Terkontaminasi Bakteri

BOGOR -- Para peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) menemukan 22,73 persen susu formula (dari 22 sampel) dan 40 persen makanan bayi (dari 15 sampel) telah terkontaminasi bakteri Enterobacter sakazakii. Materi yang dijadikan sampel adalah yang dipasarkan antara bulan April hingga Juni 2006.

Kontaminasi oleh E Sakazakii yang menghasilkan enterotoksin tahan panas dapat menyebabkan enteritis (peradangan saluran pencernaan), sepsis (infeksi peredaran darah), dan meningitis (infeksi pada lapisan urat saraf tulang belakang dan otak). Ini berdasarkan pengujian yang dilakukan pada bayi mencit (tikus percobaan).

Sri Estuningsih, jurubicara tim peneliti, Selasa (19/2) menyebutkan bahwa sampel makanan dan susu formula yang diteliti berasal dari produk lokal. Tim tersebut terdiri dari staf pengajar Fakultas Kedokteran Hewan IPB, yakni Hernomoadi Huminto, I Wayan T Wibawan, dan Rochman Naim.

Menurut Sri Estuningsih, penelitian itu dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama, isolasi dan identifikasi E sakazakii dalam 22 sampel susu formula dan 15 sampel makanan bayi. Pada tahap kedua, menguji 12 isolat E sakazakii dari hasil isolasi dan kemampuannya menghasilkan enteroksin (racun) melalui uji sitolisis (penghancuran sel).

Dari 12 isolat yang diujikan terdapat enam isolat yang menghasilkan enteroksin. Uji selanjutnya adalah menguji isolat tersebut pada kemampuan toksin setelah dipanaskan. ''Terdapat lima dari enam isolat tersebut yang masih memiliki kemampuan sitolisis setelah dipanaskan,'' katanya. Selanjutnya, ditentukan satu kandidat dari isolat tersebut dan menguji enterotoksin serta bakteri vegetatifnya pada bayi mencit berusia enam hari. Bayi mencit diinfeksi melalui rute oral (cekok mulut) menggunakan sonde lambung khusus dan steril.

Setelah tiga hari, kemudian dilakukan pengambilan sampel organ mencit tersebut. Hasil pengujian enteroksin murni dan enteroksin yang dipanaskan dan bakteri mengakibatkan enteritis, sepsis dan meningitis. Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan metode hispatologi menggunakan pewarnaan hematoksilin eosin.

Dari hasil pengamatan histopatologis yang diperoleh masih dibutuhkan penelitian senada yang lebih mendalam untuk mendukung hasil penelitian tersebut. Ia menyatakan, amat penting dipahami bahwa susu formula bayi bukanlah produk steril. Sehingga, dalam penggunaannya serta penyimpanannya perlu perhatian khusus untuk menghindari kejadian infeksi karena mengonsumsi produk tersebut.

Sri Estuningsih secara pribadi telah melihat langsung fasilitas salah satu perusahaan makanan dan susu formula dengan omzet terbesar di Indonesia. ''Sebagian besar fasilitas tersebut telah memenuhi standar operasional prosedur perusahaan susu formula bayi, dan saat ini masih terus dilakukan upaya untuk mencegah kontaminasi tersebut,'' katanya. n ant

( )
http://republika.co.id/koran_detail.asp?id=324244&kat_id=13

Penemuan Vaksin HIV Masih Jauh

LONDON -- Setelah lebih dari duapuluh tahun meneliti, para ilmuwan ternyata tidak semakin dekat untuk menemukan vaksin HIV. ''Ini tantangan besar, sebab untuk mengendalikan HIV dengan imunologi. Komunitas ilmiah harus mengalahkan alam, menghadapi alam, dengan keunggulan empat miliar tahun evolusi. Hal itu ternyata belum bisa dilakukan,'' ujar pakar biologi peraih Hadiah Nobel, Profesor David Baltimore, seperti dilansir BBC.

Baltimore yang juga Presiden Perhimpunan Amerika untuk Kemajuan Sains (AAAS) mengaku kekurangberhasilan tersebut mungkin bisa dipahami. ''Tapi, tidak bisa diterima,'' jelasnya . Saat berbicara dalam pertemuan tahunan AAAS di Boston, Baltimore, ia mengatakan bahwa HIV telah mengembangkan cara untuk melindungi diri dari sistem kekebalan manusia. ''Jadi, kita harus bertindak selangkah lebih jauh daripada alam,'' kilahnya.

Dia mengungkapkan, upaya untuk mengendalikan virus melalui antibodi atau dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh manusia berakhir tanpa hasil. Baltimore juga mengaku kecewa dengan kalangan ilmuwan pengembang vaksin. eye

http://republika.co.id/koran_detail.asp?id=324241&kat_id=359

Thursday, February 14, 2008

Autis dan Sistem Kekebalan Tubuh Ibu.

Hasil penelitian dari UC Davis M.I.N.D. Institute and Center for Children's Environmental Health telah menemukan bahwa terdapat keterkaitan antara sistem kekebalan tubuh pada darah seorang ibu dan sel otak anaknya yang menderita autis, yang memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi perkembangan otak si bayi. Penemuan ini meningkatkan kemungkinan pemberian kekebalan tubuh dari seorang ibu ketika mengandung merupakan salah satu faktor resiko penyakit autis dan pada saat yang sama, penanganan yang baik sebelum melahirkan dapat mencegah penyakit tersebut pada beberapa anak menurut Judy Van de Water professor rheumatology, allergy dan clinical immunology.

Judy dan timnya memulai penelitian terhadap sampel darah dari 123 orang ibu yang 61 orang diantaranya memiliki anak yang menderita autis. Mereka mengisolasi antibodi IgG dari sampel kemudian memberikan antibodinya kepada jaringan otak bayi menggunakan analisa western blot yang mendeteksi reaktifitas antibodi terhadap protein. Hasilnya mengungkapkan pola reaktifitas yang spesifik terhadap 2 protein pada 7 otak bayi dari 61 contoh dari anak penderita autis.

Judy dan timnya belum terlalu mengerti mengapa IgG merespon protein dari otak bayi dengan sangat baik, namun perkiraan mereka bahwa kemunculan ini diperoleh dari antibodi sang ibu ketika mengandung yang diberikan kepada si bayi dan juga pengaruh dari lingkungan semakin menguatkan munculnya autis.

Karakteristik dari autis - penurunan mental, keterbatasan bahasa, prilaku berulang - biasanya terlihat sangat jelas diawal kehidupan sang anak. Beberapa anak lainnya mulai menderita autis ketika usia 12-24 bulan.

Antibodi IgG bertanggungjawab terhadap sistem kekebalan tubuh untuk jangka panjang dalam merespon infeksi, namun dapat juga berkontribusi terhadap penyakit autoimmune seperti arthritis, multiple sclerosis dan lupus. IgG juga menembus plasenta untuk memberikan sistem kekebalan tubuh kepada fetus dan bayi yang baru lahir. Inilah yang menjadi salah satu alasa Judy meneliti peran IgG sebagai faktor potensial penyebab autis.

Untuk selanjutnya, Judy ingin mengetahui efek dari IgG terhadap wanita ketika mereka mengandung, apakah akan menghasilkan respons yang sama seperti respons terhadap protein pada otak bayi.

Sumber : Science Daily, 12 Februari 2008

New Technique Makes Tissues Transparent

ScienceDaily (Feb. 13, 2008) — If humans had see-through skin like a jellyfish, spotting disease like cancer would be a snap: Just look, and see a tumor form or grow.

But humans, of course, are not remotely diaphanous. "The reason a person is not transparent is that their tissues are highly scattering," sending light waves careening through the tissue instead of straight through, as they would through the tissue of that jellyfish, explains Changhuei Yang of the California Institute of Technology.

This scattering, in addition to rendering all of us opaque, makes the detection of disease a much trickier issue, requiring a host of diagnostic tests and procedures. But not, perhaps, for much longer, thanks to a new optical trick developed by Yang, an assistant professor of electrical engineering and bioengineering, and his colleagues, that counteracts the scattering of light and removes the distortion it creates in images.

It is well known that light scattering in a material is not exactly the random and unpredictable process one might imagine. In fact, scattering is deterministic, which means that the path that a beam of light takes as it traverses a particular slice of tissue and bounces and rebounds off of individual cells, is entirely predictable; if you again bounce light through that same swath of cells, it will scatter in exactly the same way.

The process is even reversible; if the individual photons of light that scattered through the tissue could be collected and sent back through the tissue, they'd bounce back along the same path and converge at the original spot from which they were sent. "The process is similar to the scattering of billiard balls on a pool table. If you can precisely reverse the paths and velocities of the billiard balls, you can cause the billiard balls to reassemble themselves into a rack," Yang explains.

Yang, along with his colleagues at Caltech, École Polytechnique Fédérale de Lausanne in Switzerland, and MIT, exploited this phenomenon to offset the murky nature of our tissues.

Their technique, called turbidity suppression by optical phase conjugation (TSOPC), is surprisingly simple. The scientists used a holographic crystal to record the scattered light pattern emerging from a 0.46-mm-thick piece of chicken breast. They then holographically played the pattern back through the tissue section to recover the original light beam. "This is similar to grabbing hold of the direction of time flow and turning it around; the time-reversed photons must retrace their trajectories through the tissue," Yang says. "The task is formidable though, as this is comparable to starting with a rack of 10 to the 18th power billiard balls (or photons), scattering them around the table, and attempting to reassemble them into a rack."

"Until we did this study, it wasn't clear that the effect will be observable with biological tissues. We were pleasantly surprised that the effect was readily observable and remarkably robust," Yang says. "This study opens up numerous possibilities in the use of optical time reversal in biomedicine."

One possible use of the technique is in photodynamic therapy, in which a highly focused beam of light is aimed at cancerous cells that have absorbed cell-killing light-sensitive compounds. When the light hits the cells, the compounds are activated and destroy the cells. Photodynamic therapy is most effective in treating cancers on the skin surface. Yang's technique, however, offers a way to concentrate light onto cancer-killing compounds located more deeply within tissue.

Yang's idea is to inject strongly light-scattering particles that are coated with light-activated cancer-killing drugs into diseased tissue. Shine a beam of light into the tissue, and it would be reflected off the scattering compounds as it bounces through the tissue. Some of the scattered light would return to the source, where it could be recorded as a hologram.

This hologram would contain information about the path that the scattered light took through the tissue, and, in effect, describe the optimal path BACK toward the light-scattering molecule--and the cancer-killing compounds. Playing back the signal with a stronger burst of light will then activate the therapeutic drugs, which kill the cancer cells.

In addition, the technique could offer a way to power miniature implants buried deep within tissues. "If you take a quick survey of what is out there at present, you will see that implants are fairly large," Yang says. "For example, a pacemaker is about the size of a cell phone. Why are they so big? A large part of the reason is because they need to carry their own power sources."

The key to making smaller implants, then--say, the size of a pen tip--is to eliminate the power sources. "I think implants that carry photovoltaic receivers are particularly promising," he says. "The effect can be applied to tailor light-delivery mechanisms to efficiently channel light into tissues and onto these implants."

A study describing the process appears in the February issue of the journal Nature Photonics. Zahid Yaqoob, a postdoctoral fellow in electrical engineering at Caltech, performed most of the experiments reported in the paper. The other authors of the paper are Demetri Psaltis, professor of optics and dean of engineering, École Polytechnique Fédérale de Lausanne in Switzerland, and Michael S. Feld, a professor of physics at MIT.

Adapted from materials provided by California Institute of Technology.

From here

Tuesday, February 12, 2008

Gangliosida Berperan Penting Dalam Perkembangan Otak Anak

Jakarta (ANTARA News) - Nutrisi gangliosida, yang secara alami terdapat dalam air susu ibu, susu formula, daging dan telur, memiliki peran penting dalam pertumbuhan, serta perkembangan otak anak.

Peneliti senior dari Palmerston North, Selandia Baru, Dr.Paul McJarrow, PhD di Jakarta, Senin, menjelaskan bahwa gangliosida dalam asam sialat dibutuhkan dalam pertumbuhan, perkembangan, migrasi dan pematangan sel syaraf otak, serta pembentukan synaps (hubungan antar sel syaraf--red).

Lemak kompleks kelompok asam sialat yang terdiri atas komponen gula itu, menurut McJarrow, juga membantu proses transmisi sinyal synaps, pembentukan struktur otak dan menyimpan informasi.

"Penelitian yang dilakukan pada manusia juga menunjukkan bahwa suplementasi gangliosida dapat meningkatkan kemampuan belajar dan mengingat pada anak," jelasnya.

Ia menjelaskan, peran penting gangliosida dalam pertumbuhan dan perkembangan otak anak juga terlihat dari banyaknya konsentrasi gangliosida pada area abu-abu otak atau pada otak besar dan cerebral cortex yang merupakan area penting dalam pembentukan memori.

Namun demikian, menurut dia, hingga kini belum diketahui periode kritis kebutuhan gangliosida dalam formasi neuron maupun synaps. "Secara spesifik belum diketahui periode kritisnya, kapan gangliosida benar-benar dibutuhkan," katanya.

Ia menyarankan para ibu yang sedang hamil memaksimalkan asupan nutrisinya dengan mengonsumsi bahan makanan yang mengandung gangliosida seperti susu, daging dan telur.

Suplementasi gangliosida susu, katanya, juga bisa diberikan kepada bayi setelah periode pemberian ASI eksklusif usai.

Lebih lanjut dijelaskan, meskipun penting namun gangliosida saja tidak cukup untuk menyokong pertumbuhan dan perkembangan otak, nutrisi mikro lain seperti protein, kolin, AA-DHA, seng, besi, tembaga, iodium, folat dan vitamin A juga punya peran yang sama penting.

"Itu semua tidak berdiri sendiri, semua dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan otak," kata dr.Soedjatmiko, SpA, MSi, dokter spesialis anak konsultan tumbuh kembang.

Ketua Divisi Tumbuh Kembang Departemen Pediatri Sosial Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu juga menambahkan bahwa tanpa stimulasi memadai nutrisi saja tidak dapat mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan otak anak.

"Seperti nutrisi, stimulasi juga sangat penting. Stimulasi bisa dilakukan dengan memberikan rangsang suara, rabaan, gerakan, coretan dan gambar pada saat bermain, menyusui, memandikan, jalan-jalan dan yang lainnya," demikian dr. Soedjatmiko. (*)

from here

Monday, February 11, 2008

Brain Signal Linked to Autism

By Emily Singer

By imaging the brains of adolescents with a high-functioning form of autism as they played a social-interaction game, scientists have identified a physiological deficit specific to the disorder. The researchers believe that the change is linked to a diminished sense of self. The findings, recently published in the journal Neuron, could help guide future research into the nature of autism and potentially lead to new ways to diagnose and treat the disorder.

"I think this is an exciting advance," says Uta Frith, a professor at University College London, in England, who wrote a preview of the paper for Neuron. Most studies find only subtle differences in people with high-functioning autism, "so it's quite impressive to find such a big difference," she says.

Autism is a complicated and heterogeneous developmental disorder marked by problems in language and social behavior. No medical tests exist to detect the disorder, so children are typically diagnosed based on doctors' observations. Scientists are avidly searching for more objective markers of autism, but identifying specific brain abnormalities has been a challenge.

Researchers at Baylor College of Medicine, in Houston, believe that they have now identified a specific physiological marker of the disorder. Read Montague, Pearl Chiu, and their colleagues scanned the brains of adolescents with Asperger's syndrome, a high-functioning form of autism, while they played an interactive trust game.

In the game, one person, designated the investor, chooses an amount of money to send to a second player, the trustee. The money is tripled en route, and the trustee must then decide how much to give back to the investor. When played by normal volunteers, the game unfolds in a very characteristic fashion: generous gestures are met with generous responses, while selfish ones inspire selfishness in return.

Brain activity also follows a stereotyped pattern. A study by Montague and his colleagues. published in 2006, imaged the brains of both the investor and the trustee as they played the game. The researchers discovered a specific signal in the cingulate cortex, part of the brain that integrates information from both the cortex and the body, that was detected only when the investor thought about how much money to give the trustee. A second signal was seen only when the investor received his or her return from the trustee. "We see a 'self, other, self, other' pattern," says Montague, director of the Human Neuroimaging Lab at Baylor. "We think that's an unconscious assessment of who the actions should be attributed to."

According to the new findings, people with Asperger's play the game just as a nonautistic person would, but they lack the characteristic "self" signal in the brain. Normal people lack the signal only when they think that they are playing against a computer, suggesting that autistic people view interactions with other people similarly to the way that normal people think about interacting with a computer. "This approach allows a somewhat objective look at something hopelessly subjective--sense of self," says John Gabrieli, a neuroscientist at MIT.

While the findings are clearly intriguing, it's not yet clear what they mean. One popular theory of autism is that people with the disorder lack a normal theory of mind--the ability to imagine the thoughts and actions of others. Identifying a specific deficit linked to thoughts of self could help narrow down what has gone wrong in that process. "People think autism is linked to a lack of understanding of what a partner is doing," says Chiu. "But maybe they don't understand their own role in the social exchange."

Other scientists interpret the results further, suggesting that this signal is linked to a sort of internal reputation assessment in the brain. "If you are a normal person, when you invest money in the game, you are thinking about how you will look in the eyes of your partner," says Frith. "That's precisely what the theory of mind hypothesis would project is wrong with people with autism."

Other autism experts are unwilling to make such a leap. "I'm skeptical about how much [the Baylor College study] tells us about which capacities are intact and engaged in autism," says Matthew Belmonte, a scientist at Cornell University, in Ithaca, NY. "I'm not convinced they have a deficit at all. Maybe they have adopted a different cognitive strategy."

Regardless of the deeper meaning of their findings, Montague and his team ultimately hope to develop the brain-imaging results into a diagnostic test. They have converted the activity signal from the cingulate cortex into a simple numerical score, which correlates well with a clinical test for the severity of autism. Eventually, they hope to be able to show, for example, "that if you get a 3 rather than a 14, you are 80 percent more likely to be a high-functioning autistic," says Montague. Such a tool could potentially also be used to test the effectiveness of new behavioral treatments, he says.

However, much work remains to be done before such a test could be used in a doctor's office. "We need to make it simpler and test people with a wider range of IQs," says Montague. The Asperger's volunteers in the current study had an above-average IQ.

from here

Wednesday, February 6, 2008

Medicine From Milk: Gene Therapy Transforms Goats Into Pharmaceutical Factories


ScienceDaily (Feb. 1, 2008) — University of Pennsylvania researchers have used gene therapy to reduce the time it takes to breed large animals capable of producing therapeutic proteins in their milk, such as insulin or those that fight cancer. This represents a significant milestone in drug development, as current methods involve cloning, which takes more time and generally costs more.

"Having an easier way to harness nature's power to produce large quantities of specific proteins in milk could increase the availability of drugs for people who could otherwise not afford these treatments," said Ina Dobrinski, one of the researchers on the study.

The study also is significant because it may also be a new way to eliminate diseases in future generations of animals, such as those used for livestock. Here's why: To get the goats to produce specific proteins, the researchers used radiation to kill a portion of a male goat's germ cells (the cells that produce sperm). Then they used a modified adeno-associated virus (a well studied and tolerated gene therapy vector) to insert a gene in the remaining cells. Once the new gene took hold in the germ cells, a predictable number of female offspring produced the desired protein in their milk.

The advance is immediately valuable for pharmaceutical development and biology research, but a similar approach could be used to bolster the food supply by eliminating genetic disorders in animals over several generations. It is also possible that once perfected, this technique could eliminate disease genes in humans over several generations, assuming ethical concerns can be resolved adequately.

This study is published in the February 2008 print edition of The FASEB Journal.

"For thousands of years, people have domesticated cows and goats to make milk, butter and cheese. And for thousands of years dairy products have been used as folk remedies for practically every human illness. Most have been completely ineffective." said Gerald Weissmann, MD, editor-in-chief of The FASEB Journal. "So it is reassuring that modern science would find a way to use the milk we drink to yield of drugs that actually work."

Adapted from materials provided by Federation of American Societies for Experimental Biology, via EurekAlert!, a service of AAAS.

Tuesday, February 5, 2008

A New Tool To Determine Protein Structures

By Corinna Wu

Synchrotrons are huge facilities that can produce intense, high-quality x-ray beams for scientific purposes. They usually span the size of a football field and cost hundreds of millions of dollars to build and operate. But now, researchers at Lyncean Technologies, a startup in Palo Alto, CA, have shrunk the synchrotron to the size of a room. This miniature synchrotron offers scientists a new way to perform high-quality x-ray experiments in their own labs.

Lyncean has built a prototype synchrotron and is constructing another to be installed this year at the Scripps Research Institute in La Jolla, CA. The new synchrotron will be used by the Accelerated Technologies Center for Gene to 3D Structure, which is part of the National Institutes of Health's Protein Structure Initiative.

The tabletop instrument is "not as powerful as the big synchrotrons," says Ronald Ruth, Lyncean's president and chief scientist. "But on the other hand, it's far cheaper, and it's very compact." He likens the national synchrotrons to supercomputers, where many users must compete for limited time on one of the beams. "[The synchrotrons] address the state-of-the art," Ruth says. "They push the envelope. But their impact is only as broad as the number of people that are willing to travel to go there." The miniature synchrotron is more like a PC, he says, shared by a few users and readily available.

X-rays are useful in probing the properties of materials, since their wavelength is about the same size as atoms and the chemical bonds between them. For example, x-ray crystallography is an important method in determining protein structure. X-rays diffract as they pass through a protein crystal, generating a characteristic interference pattern. By analyzing the pattern, scientists can deduce the arrangement of the atoms and thus determine the protein's structure.

For these kinds of studies, synchrotron radiation has advantages over ordinary x-ray sources: It's a hundred million times brighter and highly concentrated, which allows for very precise, high-resolution experiments. Synchrotrons also produce a continuous source of x-rays, instead of the short bursts generated from common x-ray tubes. And a synchrotron's light is tunable, so researchers can match the energy to the material being probed.

The quality of light from the miniature synchrotron is as good as the big machines, says Franz Pfeiffer, a physicist at the Paul Scherrer Institute and École Polytechnique Federale in Lausanne, Switzerland. "That's what makes it so attractive," he says. "[It] combines the benefit of having something relatively small with the advantages of the extremely brilliant beam that is available through synchrotrons. It's a very nice thing to have."

Ruth first determined that a miniature synchrotron might be possible in the late 1990s, when hewas a professor at the Stanford Linear Accelerator Center. Ruth and a graduate student, Zhirong Huang, were looking for a way to cool electron beams by getting them to radiate. They found that hitting the beams with a laser not only cooled them effectively, but also generated x-rays.

This effect proved to be the key to shrinking the synchrotron down to size. Big synchrotrons use magnetic "undulators" that wiggle the electron beam from side to side as it circulates around a large storage ring. Ruth explains that that wiggle, on the order of one centimeter, generates x-rays that are thrown off on a tangent to the circle, much like a spinning searchlight shines light.

The miniature synchrotron uses only a moving laser pulse that interacts with the electron beam each time it goes around the storage ring, which fits on a tabletop. The wiggle is one ten thousandth as small--just one micrometer--and the x-rays are given off in a single beam.


From here

Monday, February 4, 2008

Transgenik Yes, But . . .

Jakarta-RoL--"Prinsipnya bagi kami tidak masalah, bahkan kami dukung upaya itu," kata Sekjen Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Rachmat Pambudy pada diskusi pakar bertema "Keunggulan Bioteknologi dan Solusi Menuju Kemandirian Pangan" di Jakarta, Selasa.

pernyataan diatas disampaikan sebagai dukungan petani yang tidak akan menghambat upaya peningkatan produktivitas pertanian melalui rekayasa genetik (transgenik) selama produk tersebut aman pangan, aman lingkungan dan menguntungkan bagi para petani, selain itu,produk transgenik itu harus hasil riset dan teknologi dari dalam negeri oleh ahli Indonesia sendiri, ditanam oleh para petani dalam negeri, dan demi kepentingan bangsa dan ketahanan pangan nasional.

"Jadi produk transgenik itu jangan sampai dikembangkan perusahaan multinasional yang datang ke Indonesia, menanam di tanah kita, lalu terjadi persaingan hasil pertanian mereka dengan petani kita, lalu mereka yang memenangkan pasar dan kita menjadi tergantung. Ini tidak benar," katanya.

Hasil riset rekayasa genetika itu yakni kedelai TH (toleran herbisida), kapas Bt (toleran serangga pengerek batang), kapas TH, jagung TH dan jagung Bt oleh sejumlah perusahaan dan sudah dinyatakan aman sehingga mereka tinggal mengurus sejumlah izin lain.Sedangkan riset tanaman rekayasa genetik di Indonesia, menurut Kapuslit Biotek LIPI Dr Bambang Prasetya, sebenarnya sudah dilakukan, tetapi masih dalam taraf riset, belum dilepas dan belum siap untuk ditanam secara komersial.

Pihaknya, lanjut dia, masih ragu-ragu untuk secara intensif melakukan riset rekayasa genetika apa lagi sampai melepas hasil-hasil riset tersebut karena selain masih kontroversi juga belum didukung peraturan yang lengkap.

Rekayasa genetika mampu meningkatkan produktivitas hasil pertanian dengan mengurangi banyak komponen biaya produksi seperti pestisida, penggunaan air, ketahanan terhadap lahan kering dan asam dan lain-lain yang bisa menguntungkan petani. antara/mim

from here

Fresh Insight into Evolution

By Emily Singer

It's a tantalizing thought worthy of X-Men-inspired daydreams: are some of us, for better or for worse, evolving faster than others? Growing evidence suggests that rates of genetic recombination--one of the driving forces of human evolution--vary greatly between individuals. Two new studies shed further light on the inner workings of this gene-shuffling process, highlighting differences in the way men and women rearrange the DNA that they pass on to their children. The findings could help scientists understand disorders such as miscarriage and Down syndrome, which are linked to errors in recombination.

During recombination, corresponding maternal and paternal chromosomes align within cells and swap bits of DNA. These cells eventually develop into sperm and eggs, endowing future offspring with a different configuration of genes than their parents. "Recombination constitutes one of the most powerful means by which new combinations of genetic variants are generated in the genome," says Kari Stefansson, chief executive officer of deCODE Genetics, in Iceland, and senior author of one of the studies.

Previous research shows that recombination is often localized to specific spots on the genome, known as hot spots. Some people's genomes undergo this swap more than other people's, with apparently profound consequences. In 2005, Stefansson's group at deCODE found that women with higher recombination rates had more children, suggesting that evolution has selected for molecular mechanisms that create diversity.

Scientists study recombination by comparing genetic variation in parents and their children. New techniques to analyze huge numbers of genetic variations, commonly used to identify genes linked to disease, are now allowing a more detailed analysis of recombination than ever before. (See "Genes for Several Common Diseases Found.") In one such study, published Thursday in the online version of the journal Science, researchers from the University of Chicago generated a high-resolution map of recombination hot spots by analyzing the DNA of 725 people. The volunteers came from 82 families of Hutterites, a genetically similar group of European immigrants who settled in the Dakotas in the 19th century.

That map allowed researchers to analyze how specific hot spots varied between men and women, and parents and children. "Some individuals use some hot spots more than others," says Graham Coop, a researcher at the University of Chicago who led the work. Coop and his collaborators also found that men and women had different recombination rates and tended to use different hot spots for recombination. In addition, that pattern of hot-spot usage seemed to be inherited. "That suggests differences in recombination machinery between indviduals," says Coop. He ultimately hopes to identify the genes that control recombination.

Stefansson and his colleagues do just that in a second study, also published Thursday in Science. The researchers scanned the genomes of 20,000 people for specific genetic variations linked to recombination rate. They identified two variations within a gene known as RNF212 that together accounted for 22 percent and 6.5 percent of paternal and maternal variation, respectively. Little is known about the function of the gene.

Surprisingly, these variations had opposite effects in men and women: the mutation that increased recombination in women did the opposite in men, and vice versa. The findings suggest an evolutionary mechanism for keeping control of genetic diversity. "It's important to increase diversity, but if it goes unchecked, it's likely to lead to instability in the genome that could be dangerous," says Stefansson. "If you have the same sequence variant influencing recombination in one direction in men and the other direction in women, you have put together a mechanism to keep recombination rates within certain limits."

Both studies shed light on the basic underpinnings of human evolution, which could ultimately impact human health. For example, abnormal recombination can result in miscarriage. Older women, who have higher rates of miscarriage, tend to have children whose genomes show evidence of higher recombination rate. A better understanding of the mechanisms underlying this observation could eventually lead to new fertility treatments.

from here

Friday, February 1, 2008

Ayam Lokal Tahan Banting

Rabu, 23 Januari 2008 | 14:21 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:

Ayam yang satu ini memang istimewa. Bulu, kaki, jengger, paruh, dan lidahnya berwarna hitam pekat. Bahkan daging dan darahnya pun hitam. Karena itu, ayam cemani dipercaya memiliki kekuatan mistis. Ternyata ayam dari Jawa Tengah ini juga punya kekuatan lain, yaitu tahan terhadap serangan virus flu burung.

Begitulah hasil penelitian Sri Sulandari dan M. Syamsul Arifin Zein, dua peneliti genetika zoologi di Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Mereka telah meneliti sampel darah dari 15 galur ayam lokal Indonesia dan ayam kampung yang selamat dari wabah flu burung di beberapa daerah.

Hasil analisis terhadap gen Mx terhadap populasi ayam Indonesia itu menunjukkan ayam cemani memiliki resistensi terhadap virus flu burung yang paling tinggi, 0,89 persen, dibanding galur ayam lainnya. Adapun ayam kapas memiliki resistensi terendah, hanya 0,35 persen.

Namun, bukan berarti semua ayam cemani resisten terhadap virus itu. Zein menekankan bahwa hasil penelitian ini tidak berlaku untuk semua populasi ayam cemani yang tidak ditelitinya. "Dalam penelitian ini, ayam cemani yang kami ambil darahnya berasal dari Kedu, Temanggung," kata Zein. "Riset menunjukkan 88 persen dari populasi cemani yang diteliti memiliki protein yang resisten virus flu burung. Kalau ada populasi ayam cemani lain yang bertentangan dengan penelitian ini, bisa saja. Kebetulan yang kita ambil di pusat Cemani, kondisinya bagus."

Ketahanan ayam cemani itu ternyata ditentukan oleh gen Mx. Para ilmuwan telah mengetahui fungsi gen itu sebagai penentu kemampuan ayam untuk resisten atau justru rentan terhadap serangan virus avian influenza. Gen ini ditemukan pada beberapa hewan vertebrata, seperti mamalia, unggas, dan ikan, bahkan beberapa avertebrata.

Mutasi pada gen yang berada dalam kromosom 1 dengan 14 exon itulah yang menentukan resistensi ayam terhadap flu burung. Mutasi alel A (genotipe AA) menjadi G (genotipe GG) pada nukleotida ke-1.892 pada exon ke-13 itu menyebabkan adanya perubahan asam amino dari serin (AGT) menjadi asparagin (AAT).

Perubahan alel A menjadi G ini membuat unggas rentan terhadap flu burung, karena membentuk protein yang seharusnya mampu melawan. Alel A resisten terhadap serangan virus avian influenza, alel G rentan terhadap serangan virus itu, sedangkan alel R (genotipe AG) bisa resisten tapi juga bisa rentan.

Sulandari mengatakan hasil analisis terhadap fenomena mutasi alel G/A terhadap populasi ayam lokal di Indonesia itu menunjukkan bahwa ketahanan ayam lokal Indonesia terhadap virus tersebut cukup tinggi. "Rata-rata frekuensi alel A di atas 50 persen itu bagus," katanya. "Kalau kurang dari itu rentan karena, dalam populasinya, umumnya (ayam) memiliki alel GG, sedangkan alel AA tahan banting."

Selain cemani, ayam merawang dari Kepulauan Bangka Belitung yang diteliti dalam riset sejak 2007 itu menunjukkan frekuensi alel A yang tinggi. Begitu pula ayam pelung yang mereka teliti dari daerah Ciamis.

Sri Sulandari menyatakan penelitian gen Mx dari 877 sampel ini juga menghasilkan temuan penting, yaitu ayam yang selamat dari wabah avian influenza di Banten, Lampung, dan Sumatera Utara memiliki daya resisten cukup tinggi. "Frekuensi alel A ayam kampung di daerah itu cukup tinggi, antara 0,60 dan 0,73," katanya.

Ayam hutan merah, yang merupakan nenek moyang dari ayam domestikasi, mempunyai frekuensi alel A 0,49 persen. Angka yang diperlihatkan ini masih dalam kisaran frekuensi alel A yang dimiliki ayam lokal Indonesia. "Selain ayam hutan hijau (Gallus varius), secara keseluruhan ayam-ayam yang digunakan dalam penelitian ini, ayam kampung dan ayam hutan merah, mempunyai frekuensi alel resisten cukup tinggi," ujarnya.

Faktor daya tahan terhadap serangan flu burung ini, kata Zein, bisa dimanfaatkan dalam program pemuliaan. Secara alamiah, ayam dengan alel genotipe AA mampu melakukan perlawanan terhadap serangan flu burung. "Ayam dengan alel A akan memiliki keturunan dengan alel A pula, maka data ini penting sekali untuk keperluan breeding," ujarnya. "Kami tidak terlalu concern dengan ayam cemani resisten atau tidak, tapi sistem ini bisa digunakan untuk breeding."

Zein menyatakan bahwa dengan sistem ini dia bisa menciptakan populasi ayam yang 100 persen tahan serangan virus mematikan itu. Bila ada orang yang ingin membuat peternakan ayam kampung, bisa bekerja sama dengan laboratorium dengan menyeleksi induk sehingga menghasilkan keturunan yang tahan virus. "Yang tahan dikembangkan, yang jelek dibuang," katanya.

Cara membuat keturunan tahan virus flu burung sebenarnya sederhana, dengan memeriksa gen Mx ayam yang hendak dikembangbiakkan. "Misalnya kita ambil ayam jantan dan betina beralel AA," ujarnya. "Kalau beralel AA bertemu dengan AA, anaknya pasti AA. Kalau AG dengan AG, kadang alel bergenotipe GG keluar."

Selain menciptakan generasi ayam tahan flu burung, penelitian ini bisa digunakan bagi pengambil kebijakan dalam mengatasi wabah flu burung. "Setelah serangan (flu burung), kita maunya menjelaskan kepada pemerintah bahwa yang hidup itu adalah yang tahan, tapi akhirnya dibunuh," kata Zein. "Jadi yang nggak resisten mati karena penyakit, tapi yang resisten mati dibunuh."

Langkah membumihanguskan peternakan yang terkena wabah itu, kata Zein, kurang tepat. Jika kebijakan depopulasi--membunuh semua unggas yang hidup berbagi tempat dengan unggas mati--itu diteruskan, genetic resource Indonesia terancam bahaya. "Kalau ayam yang tahan virus dibunuh, sumber daya genetik kita habis, akhirnya kita punya ayam berkualitas lembek," ujarnya. "Sehingga bisa terjadi seperti kasus kedelai, bergantung pada Amerika terus. Kita tidak menanam, impor mahal."

TJANDRA DEWI

from here

Proyek 1000 Genom

Amerika, Inggris dan Cina kini bekerja sama dalam Proyek 1000 Genom. Proyek ini bertujuan untuk memetakan genom manusia terbaru dengan data variasi DNA biomedis paling lengkap dan lebih detail menurut Richard Durbin dari Sanger Institute. Proyek ini melibatkan institusi Wellcome Trust Sanger Institute dari Inggris, National Human Genome Research Institute (NHGRI) dari Amerika, dan Beijing Genomics Institute-Shenzhen, Cina.

Proyek 1000 genom ini mungkin untuk dilakukan saat ini karena teknologi pengurutan genetika, bioinformatika dan teknik lainnya makin mengalami kemajuan. Dengan proyek ini upaya untuk menemukan faktor genetika yang terlibat dalam penyakit dan kesehatan manusia daapt dilakukan dengan lebih efektif lagi.

Perbedaan yang ada pada individu merupakan pengaruh dari satu persen DNA, sehingga dengan riset dalam 1000 genom ini, informasi mengenai DNA akan lebih mendetail. Perbedaan satu persen pada DNA sering kali bertanggung jawab atas perbedaan dalam kerentanan terhadap penyakit dan reaksi pengobatan. Ilmuwan telah mendaftarkan puluhan wilayah variasi genom manusia yang spesifik (haplotipe) dan mengasosiasikannya dengan penyakit umum, seperti penyakit jantung koroner, kanker payudara, arthritics, dan penyakit akibat penuaan.

Peta DNA yang berhasil disusun tahun 2000 lalu masih belum terlalu detail, oleh karena itu ilmuwan ingin mengembangkannya lagi agar peta DNA yang ada saat ini menjadi lebih detail dan gambaran genom akan menjadi lebih jelas dalam menemukan faktor genetika suatu penyakit.

Proyek ini akan memetakan DNA dari beragam kelompok etnis yang spesifik, termasuk Yoruba di Ibadan, Nigeria; Chinese di Denver, Colorado; Chinese di Beijing; Toscani di Italia, India Gujarati di Houston, Texas; orang Meksiko di Los Angeles; serta warga keturunan Afrika di barat daya Amerika Serikat.

Dengan memanfaatkan teknologi sequencing dan metode komputasional terbaru, diharapkan dapat memberikan peta genom lengkap bagi ilmuwan biomedis, yang akan memaparkan segala bentuk variasi sampai tingkat satu persen dan ini akan mengubah cara ilmuwan untuk mempelajari penyakit genetis kata Francis Collins, wakil NHGRI.

Tempo Interaktif

Otak Korslet

Sabtu, 26 Januari 2008 | 13:30 WIB

TEMPO Interaktif, Davis :

Mencari wajah yang kita kenal di keramaian ternyata sulit dilakukan oleh otak manusia. Hasil penelitian terbaru membuktikan otak memproses lautan wajah manusia menjadi koleksi garis dan sudut yang kabur. Hasilnya: kebingungan.

Fenomena ini disebut "crowding" dan terjadi ketika seseorang gagal mengenali obyek individual di lingkungan yang semrawut. Malfungsi identifikasi penglihatan ini terjadi karena terjadi sedikit "korsleting" di otak kita, yang berusaha mendata informasi visual yang membanjir yang masuk setiap detik.

"Fenomena ini mengungkapkan salah satu mekanisme fundamental sistem visual mata dan otak kita, yang berusaha mengkonsolidasikan atau menyaring masuknya begitu banyak informasi menjadi sedikit fakta yang berarti," kata David Whitney, psikolog di Centre for Mind and Brain di Universitas California, Davis, Amerika Serikat.

Whitney dan rekan-rekannya melakukan lima eksperimen untuk mengukur rekognisi para partisipan untuk mencari wajah atau rumah yang familiar dari kerumunan wajah dan rumah. Sebuah gambar akan tampil di layar komputer dan obyek penelitian harus mengindikasikannya dengan cepat di mana orang atau rumah yang dikenal.

Hasilnya, para partisipan amat sulit mengidentifikasi wajah yang berada di kerumunan wajah lainnya, sebagaimana yang terjadi di jalanan. Sebaliknya, partisipan tidak mengalami kesulitan mengenali obyek rumah yang menjadi target.

Para peneliti menyatakan hasil observasi dengan menggunakan layar komputer ini berkorelasi lurus dengan kehidupan nyata. Gambar-gambar wajah yang diterima otak saling mengganggu satu sama lain membuat otak kesulitan "memungut" satu wajah dari keramaian.

Hasil studi yang dipublikasikan di Journal of Vision di Amerika Serikat ini memiliki implikasi bahwa kebanyakan individu mengalami masalah identifikasi dalam penglihatan. Dalam jangka panjang, penemuan ini dapat menolong para ilmuwan mengembangkan sistem visual artifisial yang lebih baik dari sistem penglihatan manusia.

AMAL IHSAN | LIVESCIENCE

from here

Recent Comments

My Widget

Visitor Map
Create your own visitor map!
My Blog Juice

Bio News

↑ Grab this Headline Animator

Adv

Label